Meski ndak begitu paham mengenai sastra, terutama larik sajak yang bisa kubilang penuh akan makna itu, disini kucoba menghadirkan kumpulan sajak-sajak tentang hujan. Kenapa hujan ? Karena kini memasuki musim penghujan, alangkah syahdunya jika diiringi dengan sajak-sajak lembut nan romantis 😀 benar kan ?
Sajak tentang hujan, sungguh banyak…. agar lebih terseleksi, mengambil satu pengarang nampaknya lebih afdhol. Oke, sajak-sajak hujan yang terpilih ini, semua adalah karya dari sang maestro, pak Sapardi Djoko Damono. Nah, sajak akan diawali dengan sajak yang menjadi favoritku 😀
Hujan Bulan Juni
Karya: Sapardi Djoko Damono (1989)
tak ada yang lebih tabahdari hujan bulan junidirahasiakannya rintik rindunyakepada pohon berbunga itutak ada yang lebih bijakdari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinyayang ragu-ragu di jalan itutak ada yang lebih arifdari hujan bulan junidibiarkannya yang tak terucapkandiserap akar pohon bunga itu
Sajak tersebut mengingatkanku akan kenangan suatu hari di bulan Juni 2011,
dan yang paling mengesankan adalah hari itu hujan, dan hanya hari itu saja….tiada hari yang lain
saat itu yang kualami adalah kehujanan ketika perjalanan naik sepeda pulang ke rumah
how sweet 😀
Sajak karya Sapardi Djoko Damono tersebut juga dibuat karya berupa musikalisasi, sungguh syahdu sekali, ini dia
Sajak-sajak lainnya adalah :
Hujan Turun Sepanjang Jalan
hujan turun sepanjang jalan
hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan
kembali bernama sunyi
kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali
tak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tiba
atas pesan yang rahasia
tatkala angina basah tak ada bermuat debu
tatkala tak ada yang merasa diburu-buru
SIHIR HUJAN
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
— swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
– menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus
kaurahasiakan
TAJAM HUJANMU
KUTERKA GERIMIS
Kuterka gerimis mulai gugur
Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku
sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu
Seperti nanah yang meleleh dari ujung‐ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu
Seperti badai rintik‐rintik yang di luar itu
KUHENTIKAN HUJAN
kuhentikan hujan. Kini matahari
merindukanku, mengangkat kabut pagi pelahan –
ada yang berdenyut
dalam diriku:
menembus tanah basah,
dendam yang dihamilkan hujan
dan cahaya matahari.
Tak bisa kutolak matahari
memaksaku menciptakan bunga-bunga.
PERCAKAPAN MALAM HUJAN
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan
payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya
kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar
kujaga malam.”
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba
suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi;
kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat
manusia. Ia suka terang.”
PENYAIR HUJAN
Aku baru sadar, aku sengaja tak punya jas hujan
Semua atas nama ritual berbalut kenikmatan :
supaya aku punya alasan untuk berteduh,
lalu memandang hujan dalam diam.
Selagi aku memandang wajah-wajah sebal dalam balutan jas hujan,
apa yang sedang kau lakukan,
wahai penyair hujan?
Adakah sunyi yang kau cari*,
pada suara hujan yang jatuh di atap rumahmu yang asri?
Adakah sunyi yang kau cari,
dalam sesapan teh hangatmu yang tak berteman?
Adakah sunyi yang kau cari,
saat kau pandang tea set beranggotakan sebuah teko dan cangkir sepasang?
Akankah kuganggu sunyimu bila kau kutemui?
Penyair hujan,
aku jatuh cinta pada cakrawala.
Maka tolong ajari aku cara menebas jaraknya.**
source : Djoko Damono, Sapardi. 1994. Manuskrip Hujan Bulan Juni. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama